Njoto dan tragedi G30S
(Diambil dari edisi khusus TEMPO 5-11 Oktober 2009)
Yang Tersisih dari Riak Samudra
Ia tak tahu Gerakan 30 September. Menjelang insiden, disingkirkan dari
partai.
BOGOR, 6 Oktober 1965. Hampir sepekan setelah peristiwa penculikan enam
jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menggegerkan Jakarta.
Presiden Soekarno memanggil semua menteri Kabinet Dwikora dan menggelar
rapat mendadak di Istana Bogor.
Sekitar empat puluh menteri hadir ketika itu. Hampir semuanya berpakaian
putih putih seragam para pembantu Presiden kala itu. Pengamanan mereka
amat ketat, sebagian datang dengan dikawal panser tentara.
Menteri Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani yang
belakangan dipenjara karena dituduh terlibat Gerakan 30 September tampak
hadir. Adapun Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan Jenderal Abdul
Haris Nasution tak ada. Dia salah satu target operasi Cakrabirawa yang
lolos sepekan sebelumnya. Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia
Dipa Nusantara Aidit juga tidak kelihatan di antara peserta rapat.
Sedangkan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto justru muncul.
Suasana tegang. Setiap orang tampak waswas dan curiga satu sama lain.
Soekarno lalu membuka sidang. Pada kesempatan pertama, dia meminta
Menteri Negara dan Wakil Ketua II Comite Central PKI Njoto bicara.
Saudara Njoto, kamu punya statement untuk disampaikan? Silakan,” kata
Soekarno, seperti dikutip Menteri Transmigrasi Mochamad Achadi kepada
Tempo pada 2003. Ia adalah salah satu peserta rapat.
Njoto mengeluarkan secarik kertas berisi tulisan tangan dan mulai
bicara. ”PKI tidak bertanggung jawab atas peristiwa G30S,” katanya
tegas. ”Kejadian itu adalah masalah internal Angkatan Darat.”
Pernyataannya singkat saja.
Soekarno lalu bicara. Sang Bung Besar menegaskan bahwa peristiwa 30
September itu adalah hal biasa dalam perjalanan sejarah bangsa. ”Selalu
ada peruncingan peruncingan kekuatan. Kalau Darul Islam merupakan
peruncingan kanan, PRRI/Permesta peruncingan nasionalis, maka ini
peruncingan kiri,” kata Soekarno.
Presiden juga menyebut bahwa peristiwa G30S hanyalah tonggak kecil dalam
perjalanan revolusi Indonesia. ” een rimpeltje in de oceaan…,” katanya.
Hanya sebuah riak di tengah samudra.
*l l l*
PAGI sebelum rapat, M.H. Lukman, Menteri Negara dan Wakil Ketua I Comite
Central PKI, menjemput Njoto di rumahnya, Jalan Malang 22, Menteng,
Jakarta Pusat. Njoto bergegas menyongsong kameradnya, yang baru keluar
dari mobil dinas menteri bermerek Dodge Dart, dan langsung bertanya,
Apa sebetulnya yang terjadi?” Lukman menggeleng, ”Saya juga tak tahu.”
Pada saat insiden penculikan dan pembunuhan para jenderal terjadi enam
hari sebelumnya, Njoto sedang berada di Medan, Sumatera Utara, ikut
kunjungan kerja Wakil Perdana Menteri I Soebandrio. Hal pertama yang dia
lakukan setibanya kembali ke Ibu Kota adalah mengungsikan keluarganya
keluar dari rumah dinas di Menteng.
Gerakan 30 September memang direncanakan tanpa sepengetahuan Njoto. John
Roosa, sejarawan University of British Columbia, Kanada, dalam bukunya,
Dalih Pembunuhan Massal, menulis bagaimana Pemimpin Redaksi Harian
Rakjat itu sudah lama dijauhkan dari pengambilan keputusan penting di
dalam Politbiro PKI.
Dia mengutip catatan yang dibuat panitera Politbiro PKI, Iskandar
Subekti. ”Dalam semua diskusi, kawan Njoto dengan sadar tidak
diikutsertakan oleh kawan Aidit, dengan pertimbangan ideologis,” ia
mencatat. Aidit, menurut Subekti, menganggap Njoto lebih Soekarnois
ketimbang komunis. Catatan lain menyebutkan bahwa Njoto saat itu lebih
condong pada poros komunis Uni Soviet, bertentangan dengan Aidit yang
merapat pada poros Peking.
Dalam sebuah wawancara dengan koran Jepang, Asahi Shimbun, pada 2
Desember 1965, Njoto mempertanyakan dasar logika Gerakan 30 September.
Apakah premis Letkol Untung tentang adanya Dewan Jenderal membenarkan
adanya suatu coup d’etat?” katanya.
Tidak hanya Njoto, umumnya anggota Comite Central PKI juga tidak tahu
Gerakan 30 September. Dalam pleidoinya di Mahkamah Militer Luar Biasa
yang dibacakan pada 1972, Iskandar Subekti menjelaskan bahwa rapat
Politbiro PKI pada Agustus 1965 hanya memutuskan akan memberikan
dukungan politis” kepada sebuah aksi militer yang dirancang ”sejumlah
perwira progresif”. Pada akhir Agustus, keputusan Politbiro itu
disampaikan kepada Comite Central PKI. Aidit memimpin sendiri rapat itu.
Tidak ada diskusi,” kata Subekti.
Dalam pleidoinya, Subekti menjelaskan partai tidak pernah memberikan
dukungan fisik atas Gerakan 30 September. Partai hanya akan membela
perjuangan itu melalui pemberitaan pers dan sidang sidang pemerintah.
Itu sikap politik yang wajar dan biasa, berhubungan dengan perkembangan
situasi dan garis politik PKI saat itu,” tulisnya.
Garis politik itulah yang diikuti Harian Rakjat, edisi Sabtu, 2 Oktober
1965. Koran yang dipimpin Njoto itu terbit sehari setelah Panglima
Komando Daerah Militer Jakarta Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah
melarang semua media terbit, kecuali harian Angkatan Bersenjata dan
Berita Yudha—dua koran yang berafiliasi dengan TNI AD. Judul kepala
berita Harian Rakjat dicetak besar besar, ”Letkol Untung, Komandan
Bataljon Tjakrabirawa, Menjelamatkan Presiden dan RI dari Kup Dewan
Djendral”. Di bawahnya, ada subjudul: ”Gerakan 30 September Semata mata
Gerakan dalam AD”.
Meski mendukung, Tajuk Rencana Harian Rakjat hari itu justru mengambil
jarak dengan Gerakan 30 September. ”Kita rakyat memahami betul apa yang
dikemukakan oleh Letkol Untung dalam melakukan gerakannya yang patriotik
itu,” tulis editorial harian itu. ”Tapi bagaimanapun juga persoalan
tersebut adalah persoalan intern AD.”
Meski terkesan hati hati, pernyataan itu terasa menantang karena dirilis
pada saat tentara sudah melarang penerbitan semua media. Apalagi, saat
itu pasukan TNI AD sudah mengepung Halim Perdanakusuma dan melumpuhkan
pasukan pendukung Gerakan 30 September yang tersisa. Njoto dan redaksi
Harian Rakjat tampaknya tidak paham dan tidak menduga akan ada
perkembangan politik yang amat drastis pada hari hari pertama setelah
Gerakan 30 September.
Ada satu hal lagi yang menguatkan dugaan Njoto tidak terlibat Gerakan 30
September. Dalam sebuah diskusi di Tempo, akhir Agustus lalu, kawan
dekat Njoto, bekas Pemimpin Redaksi Harian Merdeka Joesoef Isak,
membeberkan fakta bahwa Njoto sejak 1964 sudah diberhentikan dari semua
jabatan fungsional di partainya. ”Dia diam saja, semua dia pikul, seakan
akan dia ikut (Gerakan 30 September),” kata Joesoef.
*l l l*
Rapat Kabinet Dwikora di Istana Bogor, 6 Oktober 1965. Seusai sidang,
semua menteri bergegas pulang. Jurnalis Harian Rakjat, Amarzan Ismail
Hamid, yang hadir saat itu, mengaku melihat Presiden Soekarno berbincang
sebentar dengan Njoto, sebelum masuk ke Istana. ”Itulah terakhir kali
saya melihat Bung Njoto,” katanya pekan lalu.
Di halaman Istana, seorang Menteri Negara, Kolonel Polisi Boegi Sumpeno,
sempat mengajak Njoto pulang bersama ke Jakarta, dikawal panser. ”Ikut
rombongan saya saja,” kata Boegi menawarkan. Njoto tersenyum dan menolak.
* * *